Selamat datang pada Blog Media Gema Kampung Malaumkarta. Terimakasih atas kunjungan anda !

Kamis, 09 Juni 2011

" YEGEK " SUATU SISTEM KONSERVASI TRADISIONAL SUKU MOI

A.Gambaran Umum
Konservasi Tradisional atau yang kita kenal dengan sistim sasi, tidak lasim bagi masyarakat pesisir Indonesia timur dan bukanlah hal yang baru, namun system ini di kenal cukup lama, bahkan dalam pandangan suku-suku di papua di pahami dengan sebutan dan cara yang berbeda, namun tujuannya sama adalah untuk melindungi potensi-potensi yang dianggap cukup memberikan nilai ekonimis dan konsumsi bagi masyarakat setempat.Misalanya sasi yang di pandang oleh suku Moi yang mendiami wilayah malamoi kepala burung papua (kabupaten sorong, kab tambrau, kota sorong dan kabupaten raja ampat). Suku moi memahami sasi berbad abad lamanya, dididik sejak mengikuti pendidikan dalam Rumah Adat (Kambik), di dalam pendidikan adat di sana telah diajarkan berbagai ilmu termasuk ilmu konservasi, dalam bahasa MOI di sebut dengan “YEGEK” yang artinya Larangan. Jadi Yegek adalah suatu larangan terhadap wilayah zona inti dalam wilayah Tanah Adat Marga pada hukum adat suku Moi. Bisanya Suku Moi melakukan larangan ini di dusun sagu, kolam ikan, dan juga tempat bermain burung-burung (kelnaing). Zona inti tersebut di pandang cukup bernilai tinggi karena menyimpan logistic Alam bagi keberlanjutan kehidupan mereka tertama merupakan logistic yang berkesinambungan bagi anak cucu mereka.

B.Pandangan Masyarakat Adat Suku Moi Tentang Konservasi Tradisional (Yegek)
Secara Geografis Masyarakat Adat Suku MOI mendiami 4 (empat) wilayah pemerintahan di Kepala Burung Papua Barat yaitu: Kaupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Tambrauw. Suku Moi terbagi atas 5 (lima) sub suku Besar yaitu: moi abun mendiami kabupaten pemekaran Tambrau sampai ke distrik Moraid, moi kelim mendiami distrik moraid sampai ke wilayah kota sorong, moi segin tersebar di wilayah Seget dan salawati, moi maya berada di Kepulauaan Waigeo Raja Ampat, dan moi klabara tersebar di wilayah distrik Beraur sampai perbatasan Kabupaten Sorong Selatan. Kamajemukan Suku Moi yang terdiri dari 5 (lima) sub suku di atas tersebut, memahami konservasi tradisional (yegek) Dalam Pendidikan Rumah Adat Suku Moi telah diajarkan tentang berbagai pendidikan oleh oleh guru-guru (untalan dan tulkama) kepada murid-muridnya (uliwi). Tempat pendidikannya di alam (hutan yang utuh atau hutan yang tidak ada aktifitas manusia) hanya ada alam asli. Di dalam pendidkan tersebut guru-guru adat mengajarkan berbagai ilmu seperti: kesehatan, konsevasi, tata pemerintahan adat, pertanian, penerbangan, ilmu jiwa dll). Masyarakat Adat Suku Moi mendang sasi sebagai bagian dari hidup, untuk itu apabila terjadi pelanggaran terhadap litas tanah adat yang merugikan mereka biasanya bisa terjadi sidang Adat untuk mmproses palaku pelangaran Adat Tersebut, karena kita dianggap manghancukan hidup orang lain, di dalam tanah Adat tersebut, dimana tersimpan tersedia logistic alam marga mereka.

C.Sejarah Perjalanan Sasi di Kampung Malaumkarta (Suatu Kilas Balik)

Tepat pada tanggal, 2 April 1992, Kampung Malaumkarta secara otonom di SK kan oleh Bupati kabupaten Sorong, maka secara pemerintahan dapat bertanggung jawab melaksanakan semua pembangunan di tingkat kampung bersama masyarakat. Konsep konservasi tradisional mulai di dorong untuk oleh masyarakat di kampung di mulai dengan pembentukan organisasi adat yang agak formal, struktur diatur serta di susun oleh tokoh adat dengan mengacu pada aturan adat. Program utama dari Pelaksana konservasi (yegek) kawasan daerah adalah melakukan pemetaan beberapa zona inti di laut dan potensi hutan yang dianggap masih utuh. Konservasi tradisional tersebut meliuti seluruh tanah adat kampung malaumkarta misalanya di laut, jarak daerah konservasi dari garis pante ke laut 3 mil, kemudian potensi alam yang di larang untuk penangkapan : udang lofter, Teripang, Penyu, siput lola, ikan duyung dan ikan garapuh. Selain penangkapan beberapa jenis hasil laut di atas di lakukan juga larangan terhadap pola tangkap atau alat tangkap yang dianggap merusak populasi dan terumbu karang seperti : jaring pukat, potassium, bom dll. Masyarakat hanya bisa di ijinkan managkap ikan dengan system manual yaitu dengan cara memancing atau menyelam menggunakan peralatan tangkap manual. Dalam menetapkan kawasan konservasi tradisional pada suku moi selalu di dasarkan pada potensi alam yang tersedia (zona inti), kemudian mulai di rapatkan bersama dalam pertemuan adat yang dihadiri oleh masyarakat dan juga beberapa kampung yang berdekatan turut di undang, tujuannya sehingga masyarakat umum dapat mengetahui batas-batas wilayah sasi serta potensi apa saja yang di lindungi. Dalam rapat tersebut akan di sampaikan prosesinya oleh pelaksana Ritual seminggu sebelum masuk dalam upacara Adat untuk menutup kawasan konservasi (yegek). Jangka waktu menutup kawasan konservasi (yegek) tidak dapat di tentukan batas waktunya, biasanya 2 hingga 3 tahun baru di buka. Prosesi penutupan daerah konservasi (yegek) di lakukan pada pagi hari jam 05.00 subuh, sebaliknya juga pada saat di buka. Prosesi di mulai dengan upacara Adat, di pimpin oleh beberapa tua-tua Adat secara kolektif memanggil dan menyebut nama dari lokasi yang di lindunggi serta memohon kepada, Tuhan sebagai pencipta, Tanah dan laut sebagai tempat mencarai hidup manusia serta memohon kepada leluhur sebagai pemberi warisan. Setelah itu Pelaksana Ritual berpidato menutupi upacara adat, sekaligus menanam tanda larangan yang di pancang dan di tancap ke tanah berbentuk X di ikat dengan daun-daunan dan juga kain berwarna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar