Latar belakang
Di kota sorong dahulu kala didiami berepa marga yaitu: marga Malasalin, Den, Malagamtu Osok, Bewela, Malibela dan Malaseme. Kekerabatan suku moi yang mendiami wilayah Kota Sorong cukup erat, kehidupan dalam kekerabatan berkelompok-kelompok sesui dengan wilayah penguasaan atas tanah adat mereka masing-masing pada saat itu.
Dalam sejarah perkembangan populasi penduduk dan marga-marga di suku moi terjadi kepunahan di beberapa marga suku moi yang mendiami kota sorong. Misalnya marga Malasalin, Den dan Malagamtu yang telah punah. Namun peradaban masa lalu perlu di angkat dan di lestarikan menjadi catatan penting untuk menghormati sejarah leluhur peradaban suku moi serta marga-marga yang telah punah di masa lalu.
Adakah Nilai Sejarah yang tercatat di batu hanyuk/ batu hanyur?
Dari sinilah terjadi batu hanyak yang berada di depan pulau buaya kota Sorong. Pada saat itu ada dua orang bersaudara laki-laki sebagai kaka dan adiknya perempuan bermarga “MALASALIN’ (salah satu marga telah punah di kota sorong).
Mereka berdua bermaksud untuk mencari ikan “Duyung”, setelah pagi itu fajar menjelang siang (pagi hari), kedua kakak beradik mendayung perahu di lengkapi dengan peralatan nelayan menuju tanjung pulau “laam” pulau Buaya sekarang. Mereka berdayung menyelusuri arah barat pulau tersebut hingga sampai ke luat. Setibanya di laut tiba-tiba pagi itu cuaca berubah menjadi gelap selayaknya malam telah tiba kembali (dalam bahasa moi di sebut lem kalik). Tak lama kemudian adiknya yang perempuan menolek ke sebelah ufuk melihat ada bayangan yang datang mendekat mereka berdua, ternyata ada orang sedang berjalan. Apa terjadi? Ada orang mati yang bangkit bermarga MAAS sedang berjalan berjalan dari arah timur dari wilayah pedalaman Mega (kampung luwelala) menuju arah barat, bertemulah mereka di atas laut. Orang mati yang bangkit tadi melewati alur perjalan kehidupan di alam keduan yaitu jalan rahasia suku moi, dalam bahasa moi di sebut (woo teik).
Orang mati yang telah bangkit tersebut dari arah pedalaman Mega turung melewati tanjung kasuari urat gunung kali klafunlala dekat kubur tanjung kasuari sekarang. Orang mati itu berjalan terus sampai ke laut di depan pulau buaya mulai mendekat kedua kakak beradik tadi.
Setelah orang mati itu mendekat ke arah kedua kakak beradik tadi, lalu kemaluannya dari laki- laki menjadi panjang sekitar 500 meter panjangnya dengan tujuan membunuh kakak beradik yang sedang mencari ikan duyung tersebut. Namun dalam perjalan kedua kekak beradik tadi adik nya juga membawa penangkal bahaya yaitu “ gata-gata” (dalam bahasa moi ARK/PDEK) yang selalu di pakai oleh suku Moi menangkal bahaya orang mati yang telah bangkit. Tak sabar adiknya memegang penangkal tersebut menjepit pada kemaluan laki-laki orang mati tersebut, lalu kakanya penikam dengan bambu tui yang di runcingkan dari penikam ikan Duyung. Matilah orang tersebut di situ badannya jatuh ke laut menjadi batu yang sekarang terapung di depan pulau buaya dan kepalanya terpotong jatuh di pula jefaman manjadi batu merah yang berada di sebalah darat pulau jefman hingga sekarang. bambu yang di gunakan untuk menikam orang mati tadi di tanam juga di jefman dekat kepala tersebut yang berubah menjadi batu. Tempat itu dahulu kalau orang moi menyebutnya “Mayik W’sele” tempat pelabuhan gurita.
Naskah
Tory Kalami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar