Selamat datang pada Blog Media Gema Kampung Malaumkarta. Terimakasih atas kunjungan anda !

Senin, 07 Maret 2011

SEJARAH PENJAJAHAN ATAS SUKU MOI

Bumi ini bulat seperti bola dan selalu berputar pada porosnya. Perputaran bumi itu selalu membawa perubahan dalam ukuran waktu perdetik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan abad. Kita semua menyaksikan dalam perputaran itu Pembangunan Nasional yang dilaksanakan untuk mencapai Masyarakat Adil Makmur ternyata selama 38 telah mengakibatkan penghancuran secara sistematis terhadap keberadaan Masyarakat Adat Malamoi di kota kabupaten Sorong, sehingga menempatkan Masyarakat Adat Malamoi, sebagai kaum pinggiran, penonton dan korban di negeri sendiri.

Kini dalam setiap hati Orang Moi menyatakan bahwa tanah Moi belum merdeka, kami masih menderita dalam cengkeraman penjajahan.Jika dipilah maka tiga dekade sudah kami terbelenggu dan dilecehkan; dekade misionarisasi, imperialisme, dan integrasi kedaulatan ke pangkuan RI.

I. Dekade Misionarisasi
Pada tanggal 27 Oktober 1927 Baltazar W. Wagunu misionari dari Sangir mendarat di kampung Manyoi (sekarang daerah PT. Usaha Mina). Masyarakat Adat Malamoi pada waktu itu masih dengan keberadaannya yang asli, sehingga melihat sosok manusia yang berbeda dengan mereka dan datang dengan visi yang berbeda dengan kepercayaan mereka maka secara spontan para tua-tua adat alumnus Kambik berkata kepada Baltazar dalam bahasa Malamoi “nisik kamabpak giibso, abpak malasa pso, abpak oub pso kibhe“ artinya ko bawa barang yang datang bikin habis dusun, bikin habis tanah bikin habis kayu.
Gema Injil ini mulai tersebar ke daerah pesisir pantai utara, pedalaman dan pantai selatan tanah Malamoi. Kalimat penolakan di atas tidak diucapkan untuk Baltazar W. Wagunu di kampung Manyoi saja tapi di kampung Asbaken distrik Makbon pun kalimat ini diucapkan untuk salah satu tokoh pekabar injil dari suku Malamoi Bapak Kwatolo sebagai ekspresi penolakan terhadap suatu peradapan baru di tanah Malamoi pada umumnya.

Masuknya injil ini telah menghancurkan semua kearifan lokal karena menurut para misionari bahwa kepercayaan asli/agama masyarakat adat merupakan kepercayaan kafir yang selalu menghambat pertumbuhan iman setiap orang.

II. Dekade Imperialisme

Selang waktu yang tidak terlalu lama antara tahun 1927 ke tahun 1930 kurang lebih 3 tahun Belanda mulai melakukan ekspansi kawasan ekonomi ke Maladum (nama asli sebelum disebut kota Sorong sekarang). Daerah Malamoi di kenal sebagai daerah yang sangat potensial dengan SDAnya sehingga menjadi daerah fokus utama.

Pada tahun 1932 Belanda memulai kegiatan survei dan pemetaan daerah basis minyak dan gas di Klamono tepatnya di tanah adat milik marga Mambrinkofok dan Idik tanpa ada satu kesepakatan bersama, Belanda mulai melakukan kegiatan di sana. Ganti rugi yang diberikan pihak Belanda kepada para pemilik tanah adat ini adalah satu sloop rokok Ampana, satu kartun kornet, satu karton supermi, kampak, kuali, belanga dan kelambu.

Hutan keramat, dusun sagu, dusun langsat, dusun damar, dan kawasan hutan yang biasanya di jadikan sebagai tempat cari makan dikapling menjadi kawasan terlarang milik perusahan minyak Belanda dan masyarakat dipindahkan dari kawasan tersebut ke Klawana (sekaran menjadi perkampungan). Pengrusakan hutan dan penggusuran tempat tinggal menyebabkan Masyarakat Adat Malamoi di Klawana menjadi masyarakat marjinal di atas tanah yang kaya raya, ibarat “tikus mati di lumbung padi“. Untuk menunjang kegiatan pengurasan minyak dan gas bumi di Sorong maka pada tahun 1932 dan tahun selanjutnya Belanja melakukan ekspansi pendaftaran tenaga kerja dari beberapa daerah di Papua, seperti ; Manokwari, Biak, Serui, Jayapura, Fak-fak, Merauke dan Ambon yang mencapai 6.000 orang untuk menjadi staff dan buruh yang bekerja di perusahan minyak Belanda yang disebut Netherlands New Guinea Petroleum Matscapay disingkat NNGPM.

Dengan kekuatan pengikut karyawan yang cukup besar, Belanda kemudian melakukan negosiasi dengan marga Ulim, Kwatolo, Osok, Kalami dan Bewela sebagai pemilik tanah adat dalam kota Sorong, dalam rangka kontrak tanah seluas 3.250 Ha. Tanah-tanah ini membentang dari sungai Klagison – Bukit Malasatibin – Malanu – Malalumai – Tanjung Batu (distrik Saoka). Kontrak yang dilakukan secara lisan dan sebagai imbalan jasa Belanda memberikan kelambu, belanga, kuwali, kampak, parang, dan rokok kepada setiap marga. Sejak kontrak ini berlaku maka dengan sendirinya tanah seluas 3.250 Ha menjadi milik NNGPM. Sebagai akibat dari penyerahan tanah ini, semua Masyarakat Adat Malamoi yang tinggal di sepanjang tanjung Dofior s/d Lapangan Sepak Bola Kampung Baru (dulu daerah ini masih hutan dan disebut sebagai kampung Malanu) harus dipindahkan ke kawasan di luar tanah milik NNGPM. Masyarakat kemudian menyingkir 10 km ke arah timur (sekarang daerah ini disebut kelurahan Malanu).


III. Dekade Integrasi

Setelah Belanda menyerah kepada Indonesia dan meninggalkan tanah Papua, semua aset yang ada di Papua termasuk di Sorong ditinggalkan oleh Belanda. Pemerintah Indonesia dengan legitimasi sebagai negara yang merdeka mulai dengan sistemnya menguasai dan mengklaim semua aset yang ditinggalkan Belanda sebagai aset negara dan menutup mata terhadap status politik tanah Papua.

-Tanah di Klamono dialihkan menjadi tanah milik PERMINA (sekarang menjadi PERTAMINA). Tanah NNGPM seluas 3.250 ha dialihkan menjadi tanah Negara. Pada tahun 1972 Permina memulai kegiatan seismic di Seget dan Salawati dibawah salah satu CV milik Aqao Meles (sekarang orangnya tinggal di pulau Duum). Selama kegiatan eksploitasi dan eksplorasi tambang minyak dan gas bumi baik di Klamono maupun Seget, Masyarakat Adat tidak mendapat pengakuan sebagai pemilik tanah adat dan tidak punya ruang untuk mengaksesnya.

-Tekanan terus berlangsung, beberapa kampung di Salawati daratan dijadikan satu lalu di pindahkan ke sebuah pulau yang bernama Yeflio. Kawasan perkampungan yang ditinggalkan kemudian dijadikan sebagai kawasan investasi milik PERTRO METREN perusahan asing rekanan Pertamina. Kondisi serupa juga terjadi di Waliam, Duriang Kari, Malabam dan Seget. Tekanan ini dengan sendirinya menciptakan marjinalisasi dan sampai sekarang masyarakat adat distrik Seget pada umumnya masih tinggal di rumah-rumah beratap sagu dan perkampungan di sana sangat kumuh dan jauh dari standar pemukiman yang layak.

-Di atas tanah-tanah Pertamina ini muncul bergagai jenis sertifikat tanah milik oknum staff Pertamina, investor, pejabat pemda dan TNI/Polri.

-Selain sertifikat tanah ada berbagai usaha dibuka, antara lain Sawmill, IPK, IHPHH, milik pengusaha-pengusaha kayu yang tinggal di Jakarta termasuk Robert Kardinal. Perhatian pemda terhadap masyarakat di sekitar daerah eksplorasi hampir tidak ada, sehingga rata-rata masyarakat di sekitar berada pada titik kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan yang tiada tara

-Tanah negara 3.250 ha (bekas NNGPM menjadi lahan bisnis kaum imigran, investor besar kecil, dan negara sehingga mengakibatkan pemilik tanah adat kehilangan haknya dan hampir semuanya menjadi pihak tanpa tanah.

-Sejak tahun 1977 program transmigrasi pertama dicanangkan di Papua, tepatnya di Kelurahan Klasaman, lahan yang dibutuhkan sangat luas, mencapai 700.000 ha. Tanah-tanah masyarakat kemudian diserahkan pada pemerintah untuk program transmigrasi akibat adanya intimidasi militer. Hal serupa juga terjadi di wilayah transmigrasi lain, yaitu Aimas.

-HPH PT. Intimpura Timber Co. memulai kegiatan survei pada tahun 1990 di distrik Makbon di bawah bendera Pusat Koperasi Angkatan Darat (PusKopAD) milik Kodam Trikora Papua. Masyarakat adat tidak menghendaki HPH ini, namun aparat selalu berkata jika ada di antara masyarakat adat yang menahan dusunnya maka ia akan berhadapan dengan TNI. Yang melawan dan tidak mau menyerahkan hutannya akan didakwa menyembunyikan orang-orang yang melakukan aktifitas Organisasi Papua Merdeka (OPM) di sana. Dengan dugaan seperti ini membuat masyarakat trauma dan akhirnya harus menerima kehadiran PT. Intimpura.

-Pembayaran ganti rugi tidak sesuai dengan UU yang berlaku di negara ini, setiap pembayaran konpensasi selalu di lakukan di kantor Markas Komando Resort Militer (Makorem). Kompensasi yang diberikan tak lebih dari Rp 10 juta, bahkan banyak masyarakat yang yang tidak mendapatkan apa-apa.

-Semua perusahaan yang ada melakukan rekrutmen tenaga kerja secara diskriminatif, orang papua, khususnya orang Moi sangat dibatasi untuk masuk ke perusahaan-perusahaan. Kalaupun ada, mereka kebanyakan hanya jadi pekerja kasar.

-Selain HPH Intimpura, ada HPH Hasrat Wira Mandiri, HPH Hanorata, HPH Multi Wahana dan HPH Manca Raya Agro Mandiri. Lima HPH ini yang terbesar dan sangat merugikan masyarakat

Kasus-kasus di atas lama kelamaan dengan sendirinya melahirkan 1001 macam rasa kecewa, sekaligus memicu gagasan-gagasan baru untuk berjuang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar